Senin, 04 Mei 2009

PENGANTAR:

WAYANG SEBAGAI SISTIM BUDAYA & PERUBAHAN LINGKUNGAN SIMBOLIK

Oleh : Dr. Radjasa Mu`tasim

Wayang sebagai sebuah kesenian klasik, baik wayang orang, wayang golek, wayang kulit, dan wayang-wayang yang lain, saat ini memang sudah tidak populer di Indonesia. Wayang sudah tidak menarik minat banyak orang, apalagi generasi muda sekarang yang sudah tidak pernah bersentuhan dengan urusan wayang, mengenal cerita pewayanganpun tidak. Paling banter mengetahui beberapa nama tokoh wayang, tanpa mengetahui, jalan cerita tokoh tersenut. Popularitas wayang saat ini telah tersingkir oleh berbagai macam jenis kesenian kontemporer, yang muncul sesuai dengan situasi zamannya. Salah satu kelebihan dari kesenian ini adalah; penggarapannya didukung oleh teknologi modern, seperti sinetron, film, musik pop, dan berbagai bentuk reality show yang sering ditayangkan di televisi.
Wayang kelihatan sudah habis masa kejayaannya. Jarang sekali, kesenian ini dipentaskan di panggung senibudaya kita. Tetapi, wayang sebagai sebuah sistim budaya, dalam arti seperangkat pengetahuan, nilai-nilai, etika, moral, dan pandangan hidup yang dijadikan referensi untuk bertindak masih cukup mengakar dalam kehidupan masyarakat kita. Disadari atau tidak, alam pikiran masyarakat yang dulu dibentuk oleh tatanilai wayang, seperti di Jawa, sampai sekarang tatanilai itu masih jelas namapak dalam perilaku masyarakat dalam berbagai bentuknya.

Jangan berharap sekarang ini bisa nonton wayang semalam suntuk seperti dulu saat wayang masih digemari banyak orang sekitar 50 – 100 tahun yang lalu. Wayang sudah banyak yang masuk museum atau menjadi hiasan dinding rumah orang tua dari generasi 45. Tetapi jangan heran kalau dalam struktur politik dan kehidupan masyarakat kita, khususnya yang mereka yang berbudaya Jawa, wayang masih nampak secara jelas termanifestasi dalam kehidupan. Diantaranya adalah sistim politik yang kita yang masih berorientasi pada figur, stratifikasi sosial antara kelas priyayi dan kelas wong cilik yang masih tajam, model komunikasi antara pemimpin dan rakyat yang formalistik, adalah sebagian dari karakteristik kehidupan masyarakat yang terbentuk sejak abad yang lalu. Pembentukan karakter yang berdasarkan, atau setidak-tidaknya dipengaruhi oleh pandangan hidup bersumber dari wayang. Karena wayang pada masa lalu telah dianggap sebagai kesenian adiluhung yang menjadi model kehidupan yang ‘tata tentrem kerta raharja’. Oleh karena itu, perilaku sosial masyarakat kita pada masa lalu dikontrol secara ketat oleh semua anggota masyarakat agar tetap menjunjung tinggi harmoni kehidupan yang selaras dan seimbang, tujuannya tidak lain adalah meraih semboyan ‘tata tentrem’ tersebut.

Pengaruh dari kesenian wayang yang sedemikian besarnya (dalam masyarakat Jawa) pada masa lalu, benar-benar telah menjadikan system pemerintahan yang terjadi di Indonesia menjadi unik, karena selain mempertimbangkan pada tuntutan zaman, juga mempertimbangkan system yang dibangun melalui kesenian rakyat, yaitu wayang. Indonesia yang pemerintahannya berpusat di Jawa, mau tidak mau dibentuk secara halus menjadi negara ‘wayang’, yang mana system pemerintahan di dalamnya merupakan wujud nyata daripada system pemerintahan yang ada dalam pewayangan. Dan system ini sangat kentara tatkala pemerintahan Orde Baru berkuasa.

Masa pemerintahan Orde Baru, yang menjunjung tinggi keseimbangan dan keselarasan, dalam kajian sosiologis dapat ditempatkan sebagai masa peralihan, dari kultur kerajaan yang punya keterkaitan erat dengan wayang, menuju kultur keterbukaan yang demokratis yang jauh dari wayang. Tokoh utama Orde Baru yang diperankan oleh Jend. Soeharto dan para kroninya seperti Harmoko, Ali Murtopo, Soedomo, Soemitro, Soejono, dll adalah representasi generasi yang dibentuk dalam kultur wayang yang masih kental. Oleh karena itu, system politik yang mereka bangun sangat menekankan bagaimana rakyat mengabdi kepada bangsa dan negara. Bahkan sering kali negara direduksi menjadi pemerintah. Oleh karena itu tidak ada kamusnya rakyat berani melawan kebijakan pemerintah. Semua harus sendiko dawuh terhadap semua keinginan pemerintah. Kalau ada yang berani melawan, akibatnya sangat berat dipenjara atau dihilangkan nyawanya dengan paksa, tanpa proses pengadilan. Banyak aktifis pada waktu itu yang tiba-tiba hilang dan tidak pernah akan kembali. Semua pejabat negara tak tersentuh oleh hukum karena ia merupakan representasi dari negara itu sendiri, sehingga betapapun salah, seorang pejabat tidak mungkin dihukum karena harus dilindungi seperti melindungi negara. Kondisi seperti itulah yang memberi peluang berkembangnya KKN secara sistemik sehingga menjadi budaya di Indonesia. Sampai-sampai timbul pameo bahwa; Indonesia adalah surga bagi para koruptor. Indonesia adalah negara cleptokrasi. Memang mengherankan, para pemimpin yang memiliki filosofi hidup dari wayang yang bermuatan nilai-nilai luhur di dalamnya itu, ketika dimanifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, jadinya adalah masyarakat dan bangsa yang hedonis dan korup.

Lalu apa yang masih bisa diharapkan dari wayang, kalau secara konstruksi sosial dan politik sudah tidak relevan lagi? Zaman sudah berubah dan system kerajaan sudah ditinggalkan, buat apa mengangkat lagi wayang dalam wacana kehidupan modern, siapa yang tertarik ?

Ternyata Muhammad Zaairul Haq, penulis muda yang menekuni dunia wayang dan mendalami ajaran agama (Islam) di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta secara selektif dapat menggali nilai-nilai lain yang lebih kontekstual, yang justeru dibutuhkan oleh bangsa ini. Nilai-nilai asketis yang lama diabaikan oleh system budaya yang kadung menjadi korup. Nilai-nilai dalam wayang yang anti segala bentuk penindasan terhadap rakyat, dan penghisapan terhadap kekayaan negara itu oleh Muhammad Zaairul Haq diidentikkan dengan tasawuf. Istilah Tasawuf di sini sangat tepat sebagai antitesa dari nilai-nilai perilaku negatif bangsa ini, sebagaimana telah dikemukakan di depan. Maka buku ini oleh penulisnya diberi judul Tasawuf Pendawa, sesuai dengan isinya yang mencoba mengeksplorasi pola hidup, karakter satria pandawa dan mengkaitkannya dengan tasawuf dalam Islam. Tokoh-tokoh Pandawa ( Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa) dikenal sebagai komunitas yang bersih tidak hedonis dan tidak gila kekuasaan. Pemilihan terhadap tokoh-tokoh pandawa sebagai prototype dalam memaparkan nilai-nilai sifistik dari wayang patut diacungi jempol karena secara bawah sadar, justru tokoh-tokoh Kurawa, musuh Pandawa, yang ditiru oleh kebanyakan masyarakat kita, termasuk para pemimpin bangsa. Upaya mengembalikan orientasi hidup dari model Kurawa (hedonis) ke model Pandawa (sufistik) merupakan tugas yang tidak mudah di tengah-tengah berkembangnya kapitalisme global yang semakin kokoh menancapkan cengkeramannya di seluruh aspek kehidupan. Usaha Muhammad Zaairul Haq yang ia tuangkan dalam buku ini adalah bagian dari upaya tersebut.

Dalam momentum, kita sedang memilih pemimpin melalui pemilu legislatif pada 9 April 2009 dan dilanjutkan dengan pemilihan presiden pada bulan juli 2009 ini, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana watak-watak Kurawa lebih menonjol dari watak Pandawa dalam memperebutkan kursi jabatan legeslatif. Apa jadinya bangsa ini nanti kalau para pemimpin dan pengambil kebijakan lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada memikirkan nasib rakyat. Itulah sebabnya buku ini sangat penting untuk kita baca agar kita tidak terseret dalam arus kapitalisme yang semakin jauh. Meskipun, sekali lagi, wayang sebagai kesenian sudah habis, tetapi sebagai budaya ia masih hidup dalam diri kita.

Maka, buku ini tidak berpretensi menghidupkan kembali kesenian wayang yang semakin lesu, tetapi penulis juga berusaha untuk merekonstruksi budaya wayang (nilai-nilai sufistik) yang terkandung di dalamnya agar bisa dijadikan acuan dalam kehidupan masyarakat yang semakin materialistik. Sebagai nilai yang bersifat universal, jangkauan buku ini tidak hanya untuk kehidupan sekarang tetapi juga masa yang akan datang. Tantangan yang dihadapi setelah buku ini terbit adalah bagaimana menciptakan simbol-simbol baru yang relevan dengan alam pikiran masyarakat sekarang. Tanpa simbol baru yang sesuai dengan perkembangan, nilai-nilai luhur tersebut tidak akan dapat tersampaikan dan dipahami oleh masyarakat dengan baik, kalau simbol-simbol yang digunakan dalam mentransformasikan nilai-nilai luhur tersebut tetap menggunakan model lama, maka yang terjadi adalah jauh panggang dari api. Lingkungan simbolik yang berubah memerlukan penciptaan kode-kode baru yang relevan, sesuai dengan perubahan yang terjadi. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka wayang pasti akan menjadi sebuah kesenian yang membeku dan ditinggalkan oleh masyarakat. Nasib beberapa kesenian rakyat, seperti ketoprak di Jawa Tengah, ludruk di Jawa Timur, topeng betawi di Jakarta adalah sebagian kecil dari contoh kesenian rakyat yang hampir mengalami kepunahan yang disebabkan oleh keringnya inovasi dalam menciptakan kode-kode baru dalam berkesenian tersebut.

Yogyakarta, 30 April 2009
Dr. Radjasa Mu`tasim

Tidak ada komentar: